Jumat, 31 Agustus 2018

KISAH PERANG SHIFFIN


KISAH PERANG SHIFFIN

Orientasi

Perang Shiffin (Arab: وقعة صفين ) (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 Hijriah.

Latar Belakang
Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib diangkat sebagai khalifah, tetapi penerimaan dari seluruh kekhalifahan islam sangatlah sulit didapat. Ali bin Abi Thalib RA berkata tentang dirinya yang diangkat umat Islam sebagai khalifah itu merasa agak kurang senang. Sebab, di antaranya ada yang membunuhi Utsman bin Affan, sekarang mereka berada di sisi pendukungnya agar bisa membaiatnya. Muawiyah, Gubernur dari Suriah yang merupakan kerabat dari khalifah yang terbunuh, sangat menginginkan pembunuh dari sang Khalifah diadili dimuka hukum. Seperti yang diterangkan oleh tabiin terkenal, Abu Muslim Al-Khaulani. Dia datang bersama teman-temannya menanyai Muawiyah RA, dan berkata mereka padanya, "Kamu menentang Ali dalam masalah khilafah atau kamu seperti dia?" Muawiyah menjawab, "Tidak. Aku tahu benar bahwa dia lebih baik dariku; tetapi kalian 'kan tahu, Utsman terbunuh dengan keji, sedang saya anak pamannya, dan juga keluarganya yang menuntut qisas kepada orang yang terlibat dalam pembunuhan itu. Maka kalian temuilah Ali dan katakan, '[Agar] segera menyerahi para pembunuh Utsman'." Maka mereka datangi Ali dan menyampaikan hal itu kepadanya, dan Ali menjawab, "Ia harus masuk baiat dan kemudian mereka tuntut hal ini kepadaku."

Muawwiyah berpendapat Ali bin Abi Talib tidak berniat untuk melakukan hal ini, sehingga Muawwiyah memberontak terhadap Ali bin Abi Talib dan membuat Ali bin Abi Talib berniat memadamkan pemberontakan Muawwiyah. Tapi walau demikian, yang benar menurut ulama adalah Ali hendak melihat kasus ini dari perspektif mashlahah (keuntungan) dan mafsadah (kerusakan). Sehingga, dia berpendapat, perlu menahan dulu kasus ini. Agar supaya umat Islam bersatu dulu, baru melakukan qisas. Apalagi pembunuhnya hanya 2-3 orang saja, dan salah satunya seorang budak yang diketahui dari Mesir. Diketahui di belakang pembunuh-pembunuh yang sedikit itu, kalau sampai qisas ditegakkan pada hari itu jua, maka kabilah-kabilah pembela pembunuh itu akan segera melakukan kehancuran yang lebih besar. Al-Juaniy, Imam al-Haramain berpendapat bahwa Muawiyah memang memerangi Ali bin Abi Thalib, tetapi tidak mengingkari kepemimpinannya, dan tidak bermaksud merebutnya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, dia hanya menuntut agar terlaksananya qisas bagi para pembunuh Utsman, dengan asumsi dia benar, tetapi dia salah dalam hal ini. Hasil dari keadaan ini adalah pertempuran di Shiffin antara kedua belah pihak.

Jalannya Peperangan
Peperangan ini berlangsung imbang sehingga kemudian kedua belah pihak setuju untuk berunding dengan ditengahi seorang juru runding. Pertempuran dan perundingan membuat posisi Ali bin Abi Talib melemah tetapi tidak membuat ketegangan yang melanda kekhalifahan mereda. Oleh penganut aliran Syiah, Ali bin Abi Talib dianggap sebagai Imam pertama. Oleh penganut aliran Suni, Ali bin Abi Talib adalah khulafaur rasyidin yang ke empat dan Muawiyah adalah khalifah pertama dari Dinasti Ummayyah. Kejadian kejadian disekitar pertempuran Shiffin sangatlah kontroversial untuk Suni dan Syiah dan menjadi salah satu penyebab perpecahan di antara keduanya.

Awalnya, Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar. Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan dia mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan, ”Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”

Dalam "Minhaj As Sunnah" (4/384) juga dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mangapa mereka tidak membaiat Ali. ”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan terhadap kami.” Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain.

Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak.
Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram pada tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian tidak menjawab…”  Pasukan Syam menjambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Dalam "Al Aqdu Al Farid" (4/3140) disebutkan bahwa kdua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.  Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam "Minhaj As Sunnah" (6/237).

Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam "Al Bidayah wa An Nihayah" (7/288) bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang,Namun menurut buku Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin Karangan Joesoef Sou'yb pasukan Ali bin Abi Thalib berjumlah 95.000 Prajurit dan yang terbunuh 35.000,sedangkan dari Pasukan Syam berjumlah 85.000 dan yang terbunuh berjumlah 45.000 Prajurit.

Terbunuhnya Amr Bin Yasin
Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya rasulullah S.A.Wtelah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam "Tarikh As Saghir" (1/104).
Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa rasulullah bersabda mengenai Amar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam "Al Majma’ Az Zawaid" (7/244). ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya, ”Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amru bin Ash menjawab, ”Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya.” Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing-masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.

Meninggikan Mushhaf
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak sahabat yang menyeru, dengan mengangkat Al Quran tinggi-tinggi, ”Jika kita tidak berhenti (bertempur) maka Arab akan sirna, dan hilanglah kehormatan…” Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan, ”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan keturunan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.”

Maka saat itu, pasukan Syam menyeru, ”Wahai pasukan Iraq di antara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, di antara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.” Jawab dia. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka, ”Wahai Amir Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama rasulullah saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”  Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada rasulullah . Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.

Reorientasi
Perang Shiffin (bahasa Arab: معركة صفين) adalah nama perang antara Imam Ali as dan Muawiyah yang terjadi pada bulan Shafar tahun 37 Hijriyah di sebuah tempat yang bernama Shiffin. Muawiyah dan bala tentaranya dalam perang ini digelari dengan istilah Qasitin (artinya para pelanggar). Di tengah-tengah perang, ketika tentara Muawiyah hampir mengalami kekalahan, mereka menancapkan Alquran di atas tombak, melihat ini sebagian tentara Imam Ali as tidak melanjutkan peperangan. Akhirnya masing-masing dari kedua pihak memilih seorang perwakilan untuk mengadakan arbitrasi dan perangpun berakhir tanpa ada hasil. Dalam perang ini Ammar dan Khuzaima mengalami kesyahidan.

Sebab Terjadinya Perang
Benih-benih perang Shiffin telah dimulai pada masa dimana Imam Ali as mulai menduduki kursi kekhalifahan; sebab Imam Ali as pada awalnya menghendaki Abdullah bin Abbas menjadi penguasa di Syam. Imam Ali as menuliskan surat kepada Muawiyah dan meminta darinya untuk datang ke kota Madinah bersama para pembesarnya. Dalam suratnya Imam Ali as menyebutkan bahwa masyarakat tanpa bermusyawarah dengannya telah membunuh Usman, akan tetapi saat ini berdasarkan musyawarah dan kesepakatan Imam Ali as dipilih sebagai khalifah. Dalam salah satu surat yang ditulis oleh Imam Ali as untuk Muawiyah tertulis sebagai berikut: "Kepengikutanku adalah kepengikutan umum dan mencakup seluruh kaum muslimin; baik mereka yang hadir di kota Madinah disaat pembaiatan atau mereka yang ada di kota-kota Bashrah, Syam dan kota-kota lainnya. Dan anda mengira bahwa dengan menuduh saya dalam kasus pembunuhan Utsman bisa membelot dari baiat kepadaku. Semua tahu bahwa yang membunuh dia (Usman) bukanlah saya sehingga harus melakukan Qishash terhadap saya dan anda merasa lebih berhak untuk menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. Anda adalah orang yang termasuk bersebrangan dan menentangnya dan pada saat itu dimana ia meninta bantuan dari anda dan anda tidak membantunya sampai akhirnya dia terbunuh"  Muawiyah tidak menjawab surat tersebut.

Pengumpulan Tentara
Setelah berakhir Perang Jamal, Imam Ali as tinggal di kota Kufah dan berusaha untuk meyakinkan Muawiyah untuk taat kepadanya. Setelah beliau yakin bahwa selian menggunakan bahasa kekerasan Muawiyah tidak bisa diberi pemahaman dan dari sisi lain para pembesar kota Kufah termasuk pembelanya dalam peperangan dengan Syam, dalam khutbahnya di depan umum, ia mengajak masyarakat untuk pergi jihad. Imam Ali as menulis surat kapada Ibnu Abbas untuk mengundangnya bersama masyarakat Bashrah, dimana setelah undangan Imam Ali as banyak dari masyarakat Bashrah pergi ke Kufah bersama Ibnu Abbas. Baliau juga menulis surat kapada Mikhnaf bin Sulaim pemimpin kota Isfahan agar dia juga ikut bergabung dengan tentaranya.  Beberapa wanita juga hadir dalam perang Shiffin dan dengan syiar-syiar yang dilantunkan mereka memuji Imam Ali as serta menyampaikan keutamaan-keutamaan beliau untuk menggerakan tentara Irak untuk melawan tentara Syam. Diantara mereka adalah Saudah putri dari Amareh Hamadani, Ummu Sinan, Zarqo' putri dari 'Adi Hamadani, Ummul Khair dan Jarwah putri dari Marroh bin Ghalib Tamimi.

Para pengikut Muawiyah adalah orang-orang seperti; Amru bin 'Ash (yang tinggal di Palestina dan direkrut oleh Muawiyah untuk memanfaatkan keahliannya dalam bermusyawarah serta memintanya untuk bergabung dengan pengikut Muawiyah melawan pemerintahan Mesir), Ubaidillah bin Umar, Abdurrahman bin Khalid bin Walid, Abdullah bin Amru bin 'Ash, Marwan bin Hakam, Muawiyah bin Hadij, Dhahhak bin Qois, Busr bin Arthah, Syarhubail bin Dzul Kila' dan Habib bin Muslimah.

Perang dimulai
Kemudian tentara Imam Ali as bentrok dengan tentara Syam di perbatasan Romawi yang kini berada di kawasan utara Irak dan Suriah. Imam Ali as mengutus Malik Asytar kepada mereka dan menekankan kepadanya untuk tidak memulai peperangan bagaimana pun keadaannya. Dengan datangnya Malik Asytar pasukan Syam memulai peperangan dan bentrokan kedua kubu pun tidak bisa dielakan. Setelah beberapa lama pasukan Syam pun mundur.  Setelah terjadi peperangan yang tak beraturan, ada kesepakatan untuk berhenti berperang. Akan tetapi perundingan antara perwakilan Imam Ali as dan Muawiyah berlanjut dan Muawiyah menjadikan syarat utamanya adalah membunuh orang-orang seperti Ammar, Adi bin Hatim, Malik dan orang-orang yang dalam pandangan dia adalah yang ikut dalam pembunuhan Utsman.

Hari pertama bulan Shafar terjadilah perang besar antara dua pasukan, setiap hari salah seorang dari para komandan Imam Ali as bergantian bertugas untuk memimpin pasukan di garis depan. Hari pertama Malik Asytar, hari kedua Hasyim bin 'Atabah, hari ketiga, Ammar bin Yasir, hari keempat Muhammad bin Hanafiyah dan hari kelima komondan perang dipegang oleh Abdullah bin Abbas.

Pengepungan Sungai Furat
Pasukan Muawiyah berada diantara pasukan Imam Ali as dan sungai Furat, mereka tidak mengizinkan pasukan Imam Ali as untuk mengambil air di sungai Furat. Imam Ali as mengutus Musayyab bin Rabi' dan Sha'shaah bin Shuhan kepada Muawiyah dan berkata: "Pergilah ke Muawiyah dan katakan bahwa pengikutmu berada diantara kami dan air, dan menghalangi kami untuk mengambil air. Jika kami mendahului kalian dan membuat kemah pasukan disana, maka kami tidak akan menutup air buat kalian. Berhentilah untuk menutup air sehingga pasukan kami dan pasukan kalian bisa memanfaatkannya secara sama atau kita perang untuk mendapatkan air dan jika salah seorang dari kita menang, maka kemenangan bagi dia".  Dalam dialognya antara Muawiyah dengan utusan Imam Ali as, Muawiyah marah dan berkata: "Ali tidak memiliki hak atas air ini. Semoga Tuhan tidak memberikan air kepadaku dan ayahku dari telaga Kautsar jika aku biarkan Ali atau sahabat-sahabatnya meminum air Furat. Kecuali jika dia dengan pedang bisa menang".   Kemudian pasukan Amirul Mukminin menyerang pasukan Muawiyah dan berhasil menguasai sungai Furat. Ketika itu Ali as memberikan perintah untuk membebaskan siapa saja untuk meminum air dan tidak ada seorangpun yang dilarang. Oleh karena itu, dari kedua pihak banyak orang-orang yang datang dan meminum air Furat.

Malam al-Harir
Malam al-Harir adalah malam yang sulit dalam perang Shiffin. Di malam itu pasukan Imam Ali as dan pasukan Muawiyah terlibat peperangan dimana banyak sekali yang gugur dari kedua pihak. Menurut Minqari, di malam itu selain suara denking pedang yang bisa membuat hati orang-orang pemberanipun akan ketar-ketir, tidak terdengar suara yang lain. Dalam menjelaskan kondisi malam itu, Ibnu Miskawaih berkata: "Malam itu terjadi peperangan dimana tombak-tombak patah dan tidak lagi tersisa anak panah, kemudian mereka menggunakan pedang".

Di malam al-Harir, pasukan Imam Ali as hampir mengalami kemenangan, namun Asy'ats yang ada diantara pasukan Kindi berdiri serta dan berkhutbah dengan nada yang menuntut kemaslahatan, meminta untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi. Berdasarkan riwayat ini, saat khutbah tersebut sampai ke Muawiyah, ia memerintahkan untuk menancapkan Alquran- di ujung sebuah tombak.

Menancapkan Alquran pada Tombak
Pasukan Muawiyah disebabkan serangan yang dilakukan oleh pasukan Malik Asytar, mereka hampir mengalami kekalahan. Untuk bisa keluar dari kondisi ini Muawiyah meminta bantuan kepada Amru bin 'Ash.  Atas saran dari Amru bin 'Ash dan perintah Muawiyah, orang-orang Syam menancapkan Alquran di ujung tombak dan meneriakkan yel-yel; wahai penduduk Irak! Hakim kita adalah Alquran. Disebutakn juga bahwa pasukan Syam berteriak: wahai kelompok Arab! Pikirkanlah anak-anak dan istri-istri kalian! Jika kalian mati, besok siapa yang akan berperang melawan kaum Romawi, Turki dan Persia?!

Reaksi Imam Ali as dan Para Pasukannya
Masyarakat berdatangan kepada Amam Ali as dan berkata: hendaklah anda menjawab apa yang mereka ajak dimana sebenarnya kita sudah musnah. Diantara pasukan Amirul Mukminin, Asy'ats bukan hanya tidak rela untuk diam, bahkan ia lebih dari siapapun banyak bicara tentang keharusan untuk mematikan api peperangan dan cenderung untuk berdamai. Akan tetapi Malik Asytar yang tidak memiliki pilihan kecuali harus meneruskan peperangan, hanya bisa terdiam.  Amirul Mukminin Ali as bangkit dan berkata: "Aku selalu menyukai untuk menyerahkan urusanku kepada kalian dan aku bersama kalian... aku sebenarnya kemarin komandan kaum mukminin dan sekarang aku yang dikomandani. Aku dulu sering melarang orang-orang dan saat ini aku dilarang oleh orang-orang. Saat ini kalian memiliki kehidupan yang baik dan aku tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi kalian dari kehidupan yang tidak baik".

Arbitrasi
Dengan tipu daya yang dilancarkan oleh Amru bin 'Ash dan Alquran yang ditancapkan di ujung tombak, muncullah dua kelompok dalam pasukan Imam Ali as dimana musuh menerima arbitrasi Alquran dan kami tidak punya hak berperang dengan mereka. Imam Ali as dengan keras melawan pernyataan ini dan mengumumkan bahwa perbuatan ini tidak lain hanyalah tipu daya belaka. Namun, Amirul Mukiminin dengan terpaksa menerima ajuan arbitrasi Alqurani ini dengan mengirimkan surat kepada Muawiyah dengan catatan bahwa anda (sebenarnya) bukanlah ahli Quran.

Pasukan Syam memilih Amru bin 'Ash sementara Asy'ats dan sejumlah orang lainnya yang kemudian mereka terbentuk dalam kelompok Mariqin mengajukan Abu Musa al-Asy'ari sebagai perwakilan perundingan. Akan tetapi Imam Ali as mengajukan Ibnu Abas dan Malik Asytar,namum Asy'ats dan para pengikutnya tidak menerima ajuan dari Imam Ali as dengan alasan bahwa Malik Asytar lebih cenderung untuk memilih berperang dan Ibnu Abas pun tidak bisa diterima karena Amru bin 'Asy adalah dari kabilah Mudhari, maka lawannya haruslah dari orang Yaman. 

Dua perwakilan diantara mereka mengambil keputusan bahwa Amru bin 'Ash harus menurunkan Muawiyah dan Abu Musa al-Asy'ari harus menurunkan Imam Ali as, dan pemilihan khalifah harus dilakukan melalui musyawarah. Amru bin 'Ash mengedepankan Abu Musa al-Asy'ari atas dirinya untuk mengumumkan hasil musyawarah. Pertama, Abu Musa al-Asy'ari menurunkan Imam Ali as, akan tetapi ketika sampai giliran Amru bin 'Ash, bukannya ia mencopot Muawiyah malah ia menyetujui Abu Musa al-Asy'ari dalam menurunkan Imam Ali as dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah. Setelah itu terjadi percekcokan antara keduanya sehingga mengeluarkan kata-kata yang tidak layak.

Hasil Perang
Melalui arbitrasi tersebut kedua pasukan masing-masing mundur dan Muawiyah berhasil lolos dari kekalahan. Setelah itu, usaha apapun yang lakukan Imam Ali as untuk membentuk pasukan demi menyerang Syam, ia selalu dihadapkan dengan pembangkangan dari masyarakat Kufah dan Hijaz sehingga muncullah kelompok yang disebut dengan Khawarij dari dalam Kufah yang kemudian mereka menciptakan Perang Nahrawan.

Jumlah yang Gugur
Tentang jumlah orang yang gugur dari dua pasukan terdapat perbedaan. Sebagian ahli sejarah menyatakan: Dari dua pihak terdapat 70.000 pasukan yang gugur dimana dari jumlah ini 45.000 pasukan Muawiyah dan 25.000 pasukan Imam Ali as. Diantara para syuhada dari pasukan Imam Ali as yang keseluruhan berjumlah 25.000 terdapat para sahabat Badriyun (yang ikut perang Badar bersama Rasulullah Saw) yang mereka gugur di tangan pasukan Syam pada perang Shiffin. Mereka adalah:
Ø Hasyim bin 'Atabah
Ø Suhail bin Amru Anshari
Ø Abdullah bin Ka'ab Muradi
Ø Abu Hasyim Bajali
Ø Ya'la bin Umayah

 Sumber : Google Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE PROVINSI SULAWESI UTARA

  KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE PROVINSI SULAWESI UTARA Orientasi Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah sebuah kabupaten di Provinsi S...